Ramadhan telah menemani kita sebulan 
penuh. Tiba saatnya dia pergi. Walau berat, kita pun harus rela berpisah
 dengannya. Padahal, di bulan itu banyak kebaikan, rahmat, dan 
keberkahan yang ditawarkan. Di dalamnya, hamba Allah yang beriman, 
memiliki kesempatan besar mengejar ketertinggalan pahala pada hari-hari 
sebelumnya. Ia pun bisa mengubur dosa-dosa dan kesalahannya di hari-hari
 lalu. Bahkan, ada Lailatul Qadar, di mana satu malam lebih mulia dari 
seribu bulan. Amal kebaikan di dalamnya nilainya lebih baik daripada 
amal serupa dikerjakan selama seribu bulan yang tak ada Lailatul Qadar 
di dalamnya. Subhanallah, anugerah besar bagi kaum mukminin. Namun, 
ternyata tak semua orang Islam bisa menyukurinya. Juga tak semua bisa 
sabar menahan diri dari kesibukannya terhadap dunia dan aktifitas 
dosa-dosa, guna mengisinya dengan meningkatkan ibadah, shaum, shalat, 
tilawah, sedekah dan lainnya. Sehingga saat Ramadhan pergi ia menjadi 
manusia yang merugi. Kenapa bisa? Karena ia tak mampu memetik pahala dan
 memanen ganjaran yang berlimpah. Bahkan kesalahan-kesalahannya tak juga
 dihapuskan, sedangkan dosa-dosanya belum jua diampuni.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
 pernah naik ke atas mimbar. Lalu beliau mengucapkan Amiin sebanyak tiga
 kali. Sebagian sahabat bertanya, "Engaku mengaminkan apa?" Kemudian 
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberikan jawabannya, salah satunya:
 
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
"Amat merugi/hina seseorang yang Ramadhan masuk padanya kemudian Ramadhan pergi sebelum diampuni dosanya." (HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami', no. 3510)
Ya, orang yang merugi adalah mereka yang
 dosanya belum terampuni setelah Ramadhan berlalu. Mereka itu yang boleh
 jadi berpuasa dan qiyamnya, namun di saat yang sama tak mampu 
meninggalkan berkata dusta, berbuat nista, menyia-nyiakan waktu dan 
kesempatan serta yang semisalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
"Siapa yang tak meninggalkan berkata
 dan berbuat dusta serta perbuatan bodoh, maka Allah tidak butuh ia 
meninggalkan makan dan minumnya." (HR. al-Bukhari dan Abu Dawud 
dengan lafadz miliknya) ini merupakan kinayah/kiasan bahwa Allah tiak 
menerima puasa semacam itu, sebagaimana yang diutarakan Ibnu Bathal 
dalam Subulus Salam.
Tanda Sukses Ramadhan
Sesungguhnya orang yang gagal dalam 
mengarungi Ramadhan adalah mereka yang tak terbangun ketakwaan dalam 
dirinya. Padahal tujuan dan hikmah utama dari puasa Ramadhan agar agar 
pelakunya senantiasa bertakwa. Yakni bertakwa saat menjalankan puasa dan
 takwa itu berlanjut sesudahnya. Oleh sebab itu, kalimat yang digunakan 
dalam ayat shiyam adalah Fi'il Mudhari', kata kerja yang menunjukkan masa sekarang dan akan datang yang memiliki faidah lil istimrar (untuk sesuatu yang kontinyu). Artinya takwa itu berlanjut dan terjaga hingga sesudah Ramadhan berlalu.
Sesungguhnya balasan terbesar yang 
diberikan kepada hamba beriman dan beramal shalih adalah Allah 
memberinya petunjuk untuk mengerjakan amal shalih lainnya. Ini pula yang
 akan didapatkan orang yang diterima amal puasanya. Keterangan ini kita 
dapatkan dari balasan sabar, di mana orang yang sabar saat ditimpa 
musibah, ridha akan ketetapan Allah, dan berharap pahala atas musibah 
itu, maka Allah akan memberinya petunjuk.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
"Tidak ada sesuatu musibah pun yang 
menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang 
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. Al-Thaghabun: 11)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata
 dalam menafsirkan ayat di atas, "Maksudnya: dan siapa yang ditimpa 
musibah, lalu ia menyadari itu terjadi dengan qadha' Allah dan 
qadar-Nya, lalu ia bersabar, berharap pahala, dan menerima dengan lapang
 terhadap ketetapan Allah itu, maka Allah beri petunjuk kepada hatinya 
dan memberikan ganti yang lebih baik dari dunia yang luput darinya 
dengan petunjuk dalam hatinya serta keyakinan yang benar. Boleh jadi, 
Allah memberi ganti dari apa yang telah diambil-Nya yang lebih baik 
darinya."
Cukup jelas dari ayat di atas, bersabar 
menjadi sebab datangnya petunjuk. Dan balasan terbaik dari kesabaran 
adalah dilimpahkannya petunjuk dari Allah Ta'ala. Sementara shaum dan 
sabar, ibarat dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan dalam 
pelaksanaan shaum terkumpul tiga macam kesabaran, yaitu sabar dalam 
melaksanakan perintah Allah, sabar dalam meninggalkan larangan-Nya, dan 
sabar atas musibah yang datang dari-Nya. Dan siapa yang berpuasa 
Ramadhan dengan benar maka Allah akan senantiasa melimpahkan hidayah 
kepada-Nya untuk menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan-larangan. 
Dengan kata lain, Allah akan membantunya untuk bertakwa kepada-Nya. Ini 
sangat selaras dengan tujuan dan hikmah puasa di atas.
. . . bersabar menjadi sebab datangnya petunjuk. Dan balasan terbaik dari kesabaran adalah dilimpahkannya petunjuk dari Allah Ta'ala. . .
Hidayah Adalah Balasan Terbesar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
إِنَّ 
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ 
بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ 
النَّعِيمِ 
"Sesungguhnya orang-orang yang 
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh 
Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai 
di dalam surga yang penuh kenikmatan." (QS. Yunus: 9)
Perpaduan antara iman dengan 
konsekuaensi dan tuntutannya, berupa amal shalih, -yang mancakup amal 
dzahir dan batin- yang dikerjakan dengan ikhlash dan mutaba'ah (mengikuti sunnah) akan menjadi sebab datangnya hidayah, "mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya".
 Maksudnya: Dengan adanya iman yang benar dalam diri mereka tersebut, 
Allah membalas dengan pahala teragung untuk mereka, yaitu hidayah. 
Sehingga Allah mengajarkan kepada mereka apa saja yang berguna untuk 
mereka dan menganugerahkan amal-amal shalih yang menetas dari hidayah 
itu. Dengan hidayah tersebut, ia bisa memahami ayat-ayat Allah yang 
kauniyah maupun qur'aniyah. Sementara dalam mengarungi hidup di dunia, 
ia terbimbing untuk meniti shirathal mustaqim dan komitmen di 
atasnya. Adapun hidayah yang akan diraihnya di akhirat, negeri 
pembalasan, ia terbimbing untuk meniti jalan yang menghantarkan ke Jannatun Na'im. Sehingga sempurnalah hidayah yang ia peroleh sebagai balasan dari keimanan yang berpadu dengan amal shalih tadi.
Dalam pelaksanaan shaum Ramadhan juga 
demikian, Allah panggil hamba-hamba-Nya yang akan dikenakan kewajiban 
shiyam dengan panggilan iman. Artinya, bahwa keimanan merekalah yang 
distimulun untuk menjalankan shiyam. Pembenaran mereka kepada Allah dan 
syariat-Nya yang penuh dengan hikmah dan kebaikan yang bidik agar 
mendorongnya untuk menegakkan perintah dan menjauhi larangan dalam 
pelaksanaan shiyam.
Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
"Hai orang-orang yang beriman, 
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang 
sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Hadits tentang amal-amal Ramadhan juga 
menunjukkan, iman dan hanya berharap pahala kepada Allah semata menjadi 
syarat untuk mendapatkan pahala besar dan ampunan. Misalnya dalam 
Shahihain, syarat seseorang mendapatkan pahala berlipat tanpa batas 
karena ia meninggalkan kesenangan dan makannya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dalam hadits di Shahihain lainnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ
 رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ 
ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ 
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ 
"Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa 
ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya 
yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wa 
ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya 
yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
. . . . kesuksesan seseorang dalam pelaksanaan shiyam Ramadhan adalah dengan ia mendapatkan hidayah dari Allah untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. . . .
Sehingga dapat disimpulkan, kesuksesan 
seseorang dalam pelaksanaan shiyam Ramadhan adalah dengan ia mendapatkan
 hidayah dari Allah untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hamba Allah
 yang senantiasa dibimbing oleh hidayah Islam, dengan ia dipahamkan akan
 urusan dien dan diberi taufik untuk menjalankannya. Karena hidayah yang
 hakiki adalah yang mengandung dua hal ini; Ma'rifatul Haq Wal 'Amal Bihi
 (mengetahui kebenaran dan mengamalkannya). Oleh karena itu, seseorang 
yang merugi sesudah Ramadhan pergi adalah siapa yang gagal dalam 
melaksanakan ibadah Ramadhan sehingga ia tak mendapat ampunan dosa dan 
tak mendapatkan hidayah yang membimbingnya untuk lebih baik dan 
bertakwa. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai bagian dari 
orang-orang yang meruhi saat Ramadhan pergi. [PurWD/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar